Feeds:
Posts
Comments

Archive for February 2nd, 2012

BE PERFECT!

Be Perfect!
“You can’t live a perfect day without doing something for someone who will never be able to repay you.” John Wooden

“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Matius 5:48

Kekudusan ataupun kesempurnaan adalah 2 (dua) kata yang sungguh sulit untuk diajarkan sekaligus menjadi momok yang menakutkan bagi orang-orang yang religius sekalipun. Kata “orang kudus” atau “orang suci” seakan-akan berarti seseorang yang tidak melakukan hal-hal dosa dan duniawi; dan kata “orang yang sempurna” adalah seorang superman yang bisa melakukan segala-galanya.
Hari itu Yesus mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan sangkaan orang banyak. Ada 3 (tiga) poin penting mengenai kesempurnaan, yaitu:

1. Kesempurnaan adalah TINDAKAN (a state of doing)

“Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Matius 5:44-45

Lebih dari sangkaan banyak orang, sebuah kehidupan yang suci atau kudus bukanlah sebuah kehidupan yang dibatasi dengan banyaknya aturan-aturan dan larangan-larangan. Banyak orang melihat jalan untuk menemukan Tuhan adalah jalan dengan beribu-ribu larangan dan aturan, padahal tidak.
Peristiwa taman Eden menunjukkan hal ini, perhatikan bahwa Tuhan tidak melarang segala-galanya, Dia justru membebaskan manusia untuk memakan dengan bebas kecuali buah dari 1 pohon. Jadi tidak benar bahwa Tuhan adalah Tuhan yang kaku dan pemarah yang melarang ini dan itu, Dia adalah Tuhan yang penuh dengan kemerdekaan. Larangan itu diberikan oleh Tuhan sebab kebebasan yang mutlak adalah kebebasan yang merusak!

“Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
Kejadian 2:16-17

Kesempurnaan tidak datang dari larangan-larangan (a state of NOT-DO-ing), tetapi dari tindakan-tindakan yang benar! (state of DO-ing). Paulus menggambarkan state of doing ini dengan 3 tingkatan:

“Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan.”
Efesus 4:28

Perubahan hidup menuju kesempurnaan itu menempuh tiga percabangan besar: pertama, berhenti melakukan (stop doing) yang tidak benar (“janganlah ia mencuri lagi…”). Kedua, mulai lakukan (start doing) apa yang benar (“… baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan baik…”). Dan yang terakhir, lakukan segalanya untuk kemuliaan Tuhan (doing it for the Glory), untuk sebuah nilai hidup yang lebih besar dari pada ke-egoisan pribadi (“… supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan”).

Stop doing – start doing – doing it for The Glory, for the higher purpose.

Jadi, jelas sekali kalau kesempurnaan bukanlah hanya berhenti melakukan hal-hal yang tidak patut, state of not-doing, bukanlah sebuah kegiatan pasif, tetapi justru sebuah kegiatan yang aktif. Kesempurnaan dan kekudussan tidaklah menjadikan kita pertapa-pertapa di atas gunung yang suci, tetapi menjadikan kita orang-orang yang bekerja dan mengubahkan dunia!

2. Kesempurnaan adalah tindakan yang lahir dari PEMIKIRAN (a state of thinking)

“Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?”
Matius 5:45

Tetapi sebelum Yesus berbicara mengenai keadaan dari sebuah tindakan (a state of doing), Dia mengajak para pendengarnya berpikir sejenak. Kenapa? Karena tindakan itu lahir dari cara berpikir seseorang (a state of thinking).

Kata “pertobatan” dalam bahasa Yunani dipakai kata “metanoia”. Metanoia, tidaklah berarti perubahan gaya hidup, bukan juga tentang perubahan sebuah tindakan, bukan juga tentang perubahan sebuah keputusan, TETAPI berbicara tentang perubahan cara berpikir.

“1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. 2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. 3 Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.”
Roma 12:1-3

Cara berpikir seseorang memiliki 3 (tiga) fungsi yang sangat penting:
penentu tindakan (ay.1);
pengambil keputusan (ay.2) ; dan
penyeimbang emosi, penguasaan diri (ay.3).

Tidak heran, ketika Yesus sebelum menyuruh untuk melakukan sebuah kebenaran yang seringkali berlawanan dengan tindakan-tindakan orang masa itu dan bahkan masa kini, Sang Guru menyuruh kita untuk merubah, menyesuaikan “frekuensi” cara berpikir kita dengan paradox kebenaran. Ketika orang lain mendambakan dendam, Yesus mengajarkan pengampunan (Mat. 5:24-25). Ketika orang banyak menganggap kemarahan adalah sesuatu yang biasa, Yesus menganggapnya sebagai sesuatu yang mematikan (Mat. 5:22). Bagi orang lain fantasi seksual terhadap seorang wanita adalah bagian dari pembawaan alami seorang pria dewasa, tapi Yesus tidak! (Mat. 5:27-32). Bagi orang lain, perceraian adalah solusi mudah dari pertengkaran rumah tangga, tapi bagi Yesus perceraian bukanlah solusi atas ketimpangan rumah tangga, pengertian dan penerimaan-lah solusi atas ketimpangan rumah tangga (Mat. 5:31-32). Belum lagi soal janji (Mat. 5:37). Belum lagi soal pembalasan (Mat. 5:38-42), dan banyak hal lainnya. Bagaimana kita bisa melakukan kebenaran kalau rasionalitas (cara berpikir) kita tidak setuju dengan cara berpikir Sang Kebenaran? Mental-mental “goblok” inilah yang mesti kita “perangi” (2 Kor. 10:5-6) dan kalahkan dari kehidupan setiap orang yang mencari kebenaran.

Ketika kita diangkat menjadi Anak Allah, eh mental kita seperti pengemis. Ketika kita dijanjikan menjadi pemenang, eh mental kita ornag pengecut! Ketika Dia menjadikan kita orang-orang kudus, eh kelakuan kita seperti preman-preman pinggiran jalan, seperti “babi yang kembali pada kubangan” saja! Mental (cara berpikir) kita harus berubah terlebih dahulu sebelum, tindakan kita berubah.

3. Kesempurnaan adalah tindakan yang lahir dari pemikiran suatu PRIBADI yang sejati (a state of being)

Tapi sebelum Yesus berbicara tentang perubahan cara berpikir (a state of thinking), Dia mengingatkan kita pada hubungan kita dengan Dia.

“43 Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. 44 Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”
Matius 5:43-44

Penting untuk mengetahui bahwa “firman”, huruf yang mati, perintah-perintah keagamaan tidak dapat mengubah hidup dan cara berpikir seseorang. Revelation comes from Relationship! Pewahyuan (perubahan cara berpikir) itu datang dari sebuah interkoneksi atau hubungan dengan seseorang.

“Kata Yesus kepadanya: “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku (RELATIONSHIP), ia telah melihat (REVEAL) Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.”
Yohanes 14:9

Ravi Zacharias merangkum hal mengenai kesempurnaan ini dengan sangat baik ketika dia berkata:
Holiness is not the absence of somethings but about the presence of Someone.
Kekudusan bukanlah terjadi dengan tidak melakukan beberapa hal yang tidak pantas, tetapi tentang kehadiran Seseorang.

Kesempurnaan dan Kekudusan adalah bagaimana berjalan bersama dan memiliki hubungan bersama dengan Dia. Tanah tempat perjumpaan antara Musa denga Tuhan di semak belukar bernyala-nyala, menjadi kudus bukan karena itu tanah yang spesial, tetapi karena Tuhan hadir disana. Tabut Allah menjadi kudus dan sempurna, bukan karena itu terbuat dari emas, tetapi itu menjadi kudus dan sempurna karena Tuhan ada disana. Demikian juga dengan Anda dan saya, “is not about the absence of things, but because the presence of Someone!” (Bukan karena kita tidak melanggar hukum-hukumNya, tetapi karena kehadiran Satu Pribadi.)

Salam Kehidupan!

Read Full Post »