“You have made us and drawn us to yourself, O Lord, and our heart is restless until it rests in You!”
St. Augustine’s confession
(Engkaulah yang membuat kami untuk diri-Mu sendiri, Ya Tuhan, dan hati kami tidak akan pernah menemukan ketenangan sampai kami menemukannya hanya di dalam Engkau!”
Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.
Amsal 4:23
Hati memiliki kebutuhan!
Sebagaimana layaknya tubuh butuh makan dan minum; Demikian juga dengan hati manusia, hati memiliki rasa lapar dan hausnya sendiri. Sebagaimana layaknya tubuh membutuhkan sentuhan; Demikian juga dengan hati manusia, hati membutuhkan sentuhan-sentuhan emosi untuk kepuasannya. Dan sebagaimana layaknya tubuh membutuhkan pertemanan, demikian juga dengan mati manusia yang membutuhkan seseorang untuk dicintai dan menemukan cinta daripadanya.
The Function of The Heart
Persoalannya adalah, tidak semua kebutuhan hati ini terpenuhi dengan baik. Dan ketika hati tidak terpenuhi kebutuhannya, hati itu “hancur”, atau ada yang mengatahkan “patah hati”, tapi apapun itu istilahnya, yang pasti hati itu rusak, sakit, sekarat dan perlu untuk kembali lagi “disulam” supaya dapat berfungsi dengan benar. Hati harus dijaga dengan sebaik mungkin sebab hati manusia memiliki fungsi yang sangat penting.
Hati manusia adalah “pengolah” (processor of the emotion). Jelas bahwa dari dalam hati ”terpancar” keluar nilai kehidupan. Kehidupan yang kita alami hari ini hanyalah refleksi, cerminan, dari apa yang ada di dalam hati kita. Ketika kita merasa bahwa orang-orang disekitar kita penuh dengan kebencian kepada kita, maka kemungkinan besar kita adalah orang yang menebar kebencian hati kita sendiri kepada orang-orang disekitar kita.
Jack Canfield, penulis best-seller “Chicken Soup for The Soul“, dalam bukunya “Success Principles” menegaskan salah satu rumusan mengenai keberhasilan,
E + R = O
Dimana: E adalah “event” (peristiwa), R adalah “respond” (bagaimana hati/emosi kita menanggapi sebuah peristiwa) dan O adalah “output” (hasil).
Jack menegaskan bahwa sebuah peristiwa (E) sangat berperan menentukan hasil dan tindakan (O) kita. Tetapi ada satu lagi faktor yang lebih penting dalam menentukan hasil atau tindakan kita dalam hidup ini, yaitu respon (R) kita. Keadaan (E) bisa negatif, tetapi selama respon kita lebih positif dari peristiwa negatif yang kita alami, maka output (hasil) akan tetap positif. Itulah peran hati manusia. Hati manusia menjadi “pengolah” yang mengolah setiap peristiwa dan informasi yang diterima, dan menjaga supaya respon kita tetap positif. Oleh sebab itu, hati manusia tidak boleh cenderung memandang peristiwa yang dialami saja, tapi hati manusia harus juga berpikir, output (hasil) apa yang ingin dihasilkan dari setiap peristiwa yang dihadapi. Kalau Anda ingin hasilnya mendatangkan kemarahan, maka respon Anda adalah marah-marah. Kalau Anda ingin mendapatkan hasil yang damai, maka respon Anda adalah mengucap syukur. Kehidupan yang Anda miliki hari ini, bukan hanya hasil dari peristiwa yang menimpa Anda kemarin, tetapi juga respon Anda hari ini. Tidak heran, Salomo berkata bahwa kehidupan yang kita jalani (true life) tidak ditentukan oleh peristiwa-peristiwa (real life), tapi ditentukan dari hidup di dalam (inner life), karena “dari situlah terpancar kehidupan”.
Kedua, hati manusia adalah “pengeras” pikiran (amplifier of the mind).
Artinya, hati manusia menyatakan bagaimana cara kita berpikir. Manusia adalah hasil jumlah dari pikiran-pikirannya sendiri. Hati menyatakan / merefleksikan pikiran-pikiran kita, tapi hati manusia sekaligus terlihat dari cara berpikir kita.
Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia.
Amsal 23:7
Pikiran dan perasaan adalah sebuah koin dengan dua muka, selalu berjalan bersama-sama (Filipi 2:5). Oleh sebab itu pikiran dan perasaan adalah objek dan inti dari perubahan itu sendiri. Merubah pikiran tanpa merubah perasaan akan menghasilkan orang-orang Kristen yang gagal jadi Kristen (tidak melakukan apa yang benar yang dia ketahui); Tetapi merubah perasaan tanpa merubah pikiran pun hanya akan menjadi pembodohan semata-mata.
Terakhir, hati manusia berfungsi sebagai “pengarah” (director of the will).
Hati penentu sebuah keputusan. Penentu arah dalam kehidupan kita. Kalau kehidupan adalah hasil dari rentetan pilihan yang kita ambil, maka benarlah perkataan Salomo bahwa kehidupan itu sendiri bersumber dari hati.
The Problem of The Heart
Tertegunlah atas hal itu, hai langit, menggigil dan gemetarlah dengan sangat, demikianlah firman TUHAN. Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air.
Yeremia 2:12-13
Betapa pentingnya untuk menjaga hati karena emosi (yang menentukan respon), pikiran (yang mengendalikan keberadaan), dan kehendak (yang menghasilkan keputusan) semuanya bersumber dari hati. Ketika hati kita menjadi “kolam yang bocor”, maka semuanya dalam hidup ini akan salah. Donald S. Whitney, dalam bukunya “Ten Question To Diagnose Your Spiritual Health” menyatakan bahwa ada 3 jenis kehausan dalam hati manusia, yang ketika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka hati kita akan memiliki hati yang sekarat yang rusak.
(1) Rasa Haus Dari Jiwa Yang Kosong
Rasa haus pada jiwa yang kosong adalah sebuah pengejaran terus-menerus terhadap sesuatu yang dapat mengisi kekosongan tersebut. Orang-orang ini akan mencarinya dalam uang, kekuasaan, olahraga, pekerjaan, hiburan, sesuatu di luar kemampuan diri manusia, arti diri, ataupun dalam pendidikan. Satu hati yang tidak pernah berhenti untuk mencari dan terus mencari sesuatu yang dapat memuaskan hatinya yang kosong, tetapi dia sendiri tidak tau harus mencari kemana. Seperti Salomo yang mencari semua yang menarik “di bawah matahari” tetapi pada akhirnya hanya menemukan semuanya “adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pengkotbah 1:14). Sebagaimana layaknya neraka yang membuat pengalaman kehausan adalah sesuatu yang bersifat kekal (Lukas 16:24), demikian pula tanpa menemukan “sumber air hidup” akan menjadikan kehidupan itu serasa neraka.
(2) Rasa Haus Dari Jiwa Yang Kering
Rasa haus kedua ini adalah rasa haus dari seseorang yang pernah bertemu dengan Kebenaran itu sendiri, tetapi karena mengalami kesibukan berkepanjangan, atau karena terlalu hanyut pada kepalsuan kesenangan dunia, sehingga dia mengabaikan Cinta dan Kebenaran yang sejati yang pernah dia cicipi.
(3) Rasa Haus Dari Jiwa Yang Puas
Apa itu rasa haus dari jiwa yang puas? Kalau jiwa kita puas, mengapa kita haus? Ketika John Piper, seorang pendeta menanyakan hal yang sama dalam Yohanes 4:14, menurut kesaksian John Piper, Tuhan menyatakan penjelasan atas Firman-Nya begini:
“Saat kau meminum air-Ku, dahagamu tidak akan hilang untuk selamanya. Jika air itu menghilangkan dahagamu selamanya, apakah kau akan merasa memerlukan air-Ku lagi setelah meminumnya? Bukan itu tujuan-Ku. Aku tidak membutuhkan orang suci yang puas diri! Ketika kau meminum air-Ku, air itu akan menciptakan mata air di dalam dirimu. Mata air akan memuaskan dahaga, bukan dengan melenyapkan kebutuhanmu terhadap air, melainkan hadir memberikan air kapan pun kau merasa haus. Lagi, lagi dan lagi. Seperti pagi ini. Jadi minumlah John. Minumlah.”
(John Piper. A Godward Life. Multonmah, 1997. Hlm. 84-85)
Whitney kemudian mengutip juga pernyataan dari Thomas Shepard, pendiri Harvard University sekaligus seorang pendeta di New England,
Dalam cinta yang sejati terdapat lingkaran tanpa ujung: orang yang haus akan menerima, dan terus merasa haus.
Dan Whitney kembali lagi mengutip dari Jonathan Edwards menjelaskan tentang hubungan kebaikan rohani yang dinikmati dalam persekutuan dengan Kristus dan rasa haus yang dihasilkannya:
Kebaikan rohani memiliki sifat dasar memuaskan; oleh karena itu, jiwa yang mengalami dan mengenali sifat tersebut merasa haus akan kebaikan rohani dan kepenuhannya; agar akhirnya, rasa haus itu dipuaskan. Makin ia mengalaminya dan makin ia mengenal kenikmatannya yang sempurna, tak tertandingi, sangat indah serta memuaskan ini, ia pun sungguh makin lapar dan haus untuk memperoleh lebih banyak lagi.
Hati yang berlubang, perlu ditambal, disulam kembali menjadi hati yang utuh dalam Kristus, Sang Kebenaran dan Cinta yang sejati. Ketika kita menemukan-Nya, semua petualangan kehausan kita terobati dengan segera. Sebuah hati yang rusak, menemukan Penenun Agung; sebuah hati yang sakit, menemukan Sang Tabib; hati yang haus menemukan Mata Air yang tidak pernah kering. Sebagaimana Tuhan berkata kepada John Piper, sungguh rindu bagi saya untuk berkata pada Anda, “Minumlah. Minumlah. Dan setiap kali engkau haus, engkau boleh kembali meminumnya lagi, dan lagi, dan lagi…”
Salam Kehidupan!
Leave a comment